Jumat, 12 Maret 2010

merenungkan mutu kebudayaan

Membangun kebudayaan pada hakikatnya meningkatkan budi dan daya manusia di dalam mengembangkan mutu dan kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan hidup manusia harus mengandung mutu untuk kepuasan batin dan pikiran. Sebaliknya idealisme mutu harus ada kaitannya dengan kenyataan kesejahteraan.

Kesejahteraan yang diperoleh dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan mana bisa menimbulkan ketentraman? Mana mungkin kesejahteraan dibangun dengan merusak kehidupan kaum lemah dan memorak-porandakan lingkungan alam? Sebaliknya pula, nilai-nilai mutu yang dipertahankan haruslah mengandung dinamika yang mampu menjawab tantangan zaman. Apakah gunanya nilai-nilai yang mengekang perkembangan kehidupan sosial kaum perempuan, misalnya? Dan apakah gunanya pula nilai-nilai yang menyebabkan masyarakat menjadi kolot? Meningkatkan budi dan daya manusia pada intinya adalah meningkatkan kesadaran dan kekuatan daya hidup. Totalitas kesadaran manusia tidak terdiri dari kesadaran pikiran semata, tetapi juga kesadaran batin dan panca indranya. Oleh sebab itu, olah kepekaan panca indra yang dikembangkan oleh dunia persilatan dan seni bela diri, juga dunia kanuragan dan dunia kepanduan pantas untuk dilestarikan. Sebab pancaindra adalah pintu pertama ke arah penyadaran terhadap kenyataan-kenyataan kebendaan di luar diri kita.

Pengamatan yang total dan teliti atas kenyataan kebendaan dari zat dan jasad di dalam alam semesta ini telah mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagi para seniman hal tersebut bisa melahirkan kemampuan untuk melukiskan kekayaan detail.

Adapun kepekaan batin adalah unsur kesadaran yang paling dalam pada diri manusia. Iman, cinta, kedamaian, kepuasan dan sejenisnya tidak bisa ditangkap oleh pancaindra. Bahkan, kadang luput dari pengertian pikiran. Tetapi bisa seketika dihayati oleh batin.

Kebudayaan tidak bisa diciptakan dengan kerakusan dan brutalitas. Sebab, batin manusia akan tersiksa. Di sisi lain, memuliakan batin kita tidak mungkin dilakukan tanpa memuliakan batin orang lain di dalam kehidupan bersama.
Apabila kesadaran batin adalah dasar kemantapan kebudayaan, kesadaran pikiran adalah motor kemajuannya. Ia sumber daya cipta yang bisa menyajikan cita-cita dan konsep untuk hidup bersama. Pikiran mampu bernalar secara sebab-akibat, sehingga melahirkan filsafat. Pikiran mampu bernalar secara analisis, sehingga melahirkan ilmu pengetahuan; atau secara paralel sehingga bisa mendekati batin, selanjutnya melahirkan mistikisme dan kesenian.

Selalu ada halangan di segenap kurun masa untuk memperkembangkan pikiran. Suatu penemuan pikiran yang akhirnya bisa diterima oleh masyarakat akan menjadi kesadaran akal sehat kolektif. Pemikiran baru yang datang kemudian, kadang-kadang sangat sulit untuk membuka dan memperkembangkan akal sehat kolektif itu.

Tanpa kelestarian dunia batin, kebudayaan tidak akan mendatangkan ketenteraman hidup kepada masyarakat. Tanpa dinamika dunia pikiran, struktur dan infrastruktur akan kehilangan fungsi, sehingga menjadi sekadar berhala belaka. Sebenarnya di dalam sila-sila kehidupan kita bersama telah tersedia jawaban yang positif. Melestarikan dunia batin akan ditunjang oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengembangkan filsafat kemanusiaan, mengenal adanya Kedaulatan Manusia dengan segenap hak dan kewajibannya akan ditunjang oleh Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dan hak rakyat untuk mengembangkan akal sehat kolektif dengan mempraktikkan disiplin analisis akan sesuai dengan kalimat di dalam Preambule UUD 1945 yang berbunyi: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

(Sumber: Media Indonesia, 14 Juli 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar