Sabtu, 23 Oktober 2010

Budaya Organisasi

Budaya organisasi adalah falsafah yang mendukung kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan.
Budaya organisasi yang terbentuk, dikembangkan, diperkuat atau bahkan diubah, memerlukan praktik yang dapat membantu menyatukan nilai budaya anggota dengan nilai budaya organisasi. Praktik tersebut dapat dilakukan melalui induksi atau sosialisasi, yaitu melalui transformasi budaya organisasi. Sosialisasi organisasi merupakan serangkaian aktivitas yang secara substantif berdampak kepada penyesuaian aktivitas individual dan keberhasilan organisasi, antara lain komitmen, kepuasan dan kinerja. Beberapa langkah sosialisasi yang dapat membantu dan mempertahankan budaya organisasi adalah melalui seleksi calon karyawan, penempatan, pendalaman bidang pekerjaan, penialian kinerja, dan pemberian penghargaan, penanaman kesetiaan pada nilai-nilai luhur, perluasan cerita dan berita, pengakuan kinerja dan promosi.

  • Peranan Budaya Organisasi
Dalam lingkungan kehidupannya, manusia dipengaruhi oleh budaya di mana ia berada, seperti nilai-nilai, keyakinan, perilaku sosial atau masyarakat yang kemudian menghasilkan budaya sosial atau budaya masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada anggota organisasi, dengan segala nilai, keyakinan dan perilakunya di dalam organisasi yang kemudian akan menciptakan budaya organisasi.
Dari uraian di atas dapat dikatan bahwa budaya perusahaan pada dasarnya mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hierarki organisasi. Bagi organisasi yang masih didominasi oleh pendiri, misalnya, maka budayanya akan menjadi wahana untuk mengkomunikasikan harapan-harapan pendiri kepada para pekerja lainnya. Demikian pula jika perusahaan dikelola oleh seorang manajer senior otokratis yang menerapkan gaya kepemimpinan top down. Disini budaya juga akan berperan untuk mengkomunikasikan harapan-harapan manajer senior itu.


  • Perspektif budaya organisasi.
Perspektif ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang bersifat fisik dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para anggotanya, yakni makna, lambang dan nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat sebagai sesuatu yang berbeda tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses formalnya. Inti kajiannya terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan peristiwa dalam masyarakat. Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu yang menjadi latar belakang disamping yang bersifat instrumental.

Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Alvesson dan Berg (1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan kerancuan dalam studi dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu, dalam konteks penelitian pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang akan digunakan menjadi penting. Mengingat, bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan berpengaruh kepada bagaimana budaya organisasi didefinisikan.
Menurut Sackman (1991:90) terdapat tiga perspektif utama dalam memandang budaya organisasi, yaitu 1) perspektif holistik, 2) perspektif variabel, dan 3) perspektif kognitif. Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir, menggunakan perasaan dan bereaksi. Perspektif variabel penekanannya pada pengekpresian budaya. Sedangkan perspektif kognitif memberi penekanan kepada keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi budaya adalah konstruksi bersama mengenai realitas sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar